Senin, 03 Januari 2011

Pelatihan Manajemen Konflik bagi Anggota Peradilan Perdamaian Gampong

Pengertian Konflik
Ada banyak tokoh, praktisi maupun akademisi yang memberikan pengertian konflik ke semua itu jika ditarik kesimpulan konflik berarti :
Suatu keadaan dimana terdapat keinginan atau kehendak yang berbeda atau berlawanan antara satu dengan lainnya, sehingga salah satu atau keduanya saling terganggu.
Secara sederhananya adalah terjadinya perbedaan, tumpah tindih kepentingan dan kehendak.

Penyebab Konflik :
•Beda pemahaman/sudut pandang
•Beda kepentingan
•Karena Peraturan
Penggolongan/jenis-jenis konflik
•Konflik dalam keluarga
•Konflik dalam organisasi
•Konflik dalam masyarakat
•Konflik antar organisasi
•Konflik vertikal
•Konflik horizontal


Mekanisme Penyelesaian Konflik
Berharap agar tidak adanya konflik merupakan suatu hal yang ironi, sebab bagaimanapun kontradiksi selalu ada, namun bagi kita yang terpenting adalah mengelola konflik agar tidak meluas serta dengan sesegera mungkin untuk diselesaikan. Beberapa hal penting yang harus dilakukan dalam pengelolaan konflik adalah :
•Hal yang terpenting bukanlah terjadi atau tidaknya konflik akan tetapi bagaimana konflik tersebut dihadapi dan dikelola untuk dapat diselesaikan
•Pendekatan secara kooperatif sangat membantu penyelesaian harapan bersama, termasuk dalam penyelesaian konflik atau masalah bersama
•Para pihak yang berkonflik harus diajak melihat masalahnya secara objektif dan menghadapinya bersama

Usaha-usaha mencegah konflik terbuka :
•Penelitian
•Pengkajian
•Survey
•Dengar pendapat umum
•Temu wicara
•Jajak pendapat
•Koordinasi kebijakan

Usaha-usaha penyelesaian sengketa
1.Cara-cara kooperatif :
•Menghindari Konflik
tindakan ini dilakukan jika salah satu pihak menghindar dari situasi konflik secara fisik atau ataupun psikologis. Sifat tindakan ini hanyalah menunda konflik yang terjadi. Situasi menang-kalah terjadi di sini. Menghindari konflik bisa dilakukan jika masing-masing pihak mrncoba untuk mendinginkan suasana, membekukan konflik untuk sementara. Dampak kurang baik bisa saja terjadi jika pada saat yang kurang tepat konflik meletus kembali,ditambah lagi jika salah satu pihak menjadi stress karena merasa masih memiliki hutang menyelesaikan persoalan tersebut

•Akomodasi
akomodasi maksudnya jika salah satu pihak mengalah dan mengrobankan kepentingannya agar pihak lain mendapat keuntungan dari situasi konflik itu. Hal ini biasanya terjadi jika salah satu pihak merasa bahwa kepentingan pihak lain lebih utama atau salah satu pihak ingin tetap menjaga hubungan baik dengan pihak tersebut atau lawannya. Pertimbangan antara kepentingan pribadi dan hubungan baik menjadi hal yang utama di sini.


•Dialog/musyawarah
dialog atau musyawarah yang dimaksud di sini yaitu para pihak mengedepankan penyelesaian secara dialog atau musyawarah, saling menguntungkan dan tidak ada yang menang maupun yang kalah. Tindakan ini dapat dilakukan jika ke dua pihak merasa bahwa pertentangan yang terjadi sama-sama penting dan hubungan baik menjadi yang utama. Masing-masing pihak akan ‘mengorbankan’ sebagian kepentingannya untuk mendapatkan situasi sama-sama menguntungkan dan sama-sama menang, tidak ada yang kalah atau win-win solution.

•Mediasi
Merupakan bentuk intervensi penyelesaian kkonflik dalam masyarakat yang membutuhkan kehadiran pihak ketiga sebagai penengah. Terkadang setiap orang, tim, kelompok, komunitas atau bahkan bangsa dan negara sekalipun sulit untuk menyelesaikan konflik sendiri. Hal ini disebabkan berbagai perbedaan yang tajam, emosi, sejarah status, ketidakadilan, kekuatan, politik kekuasaan, dan lain-lain sehingga membutuhkan bantuan untuk mengakhiri sebuah pertikaian. Pihak ketiga yang dimaksud yaitu mediator. Mediator yaitu orang yang ditunjuk oleh kedua belah pihak untuk membantu menyelesaikan persoalan yang sedang dihadapi.
Peran dan fungsi mediator
•Membantu para pihak untuk menyadari bahwa sengketa bukan sebuah pertarungan untuk dimenangkan, tetapi untuk diselesaikan
•Menyusun dan mengusulkan alternatif penyelesaian dan pemecahan masalah
•Membantu para pihak untuk menganalisis alternatif pemecahan masalah
Usaha-usaha penyelesaian sengketa

2. cara-cara konfrontatif :
•Demonstrasi
•Sabotase
•Kekerasan
•Penggunaan media massa
•litigasi

3. Perwasitan (arbitrase)
Hal ini diatur dalam UU No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Hanya menyangkut bidang perdagangan. Ada lembaga BANI (badan Arbitrase Nasional Indonesia) yang pengurusnya dilantik oleh KADIN. Majelisnya bisa 3 atau hanya satu jika penyelesaian mudah.

Strategi penanganan Konflik

•Mengidentifikasi dan mengevaluasi pihak-pihak yang terlibat ; sangat penting bagi kita untuk mengetahui pihak-pihak yang terlibat. Kita dapat mengidentifikasi kepentingan apa saja yang mereka miliki, bagaimana nilai dan sikap mereka atas konflik tersebut dan apa perasaan mereka atas terjadinya konflik. Kesempatan kita untuk sukses dalam menangani konflik semakin besar jika kita melihat konflik yang terjadi dari semua sudut pandang
•Identifikasi sumber konflik; konflik tidak muncul begitu saja, sumber konflik harus teridentifikasi sehingga sasaran penanganannya lebih terarah kepada sebab konflik
•Mengetahui pilihan penyelesaian atau penanganan konflik yang ada dan memilih yang tepat;

Manejemen Perdamaian di tingkat Gampong
Seperti yang telah dijabarkan di atas, konflik dapat terjadi dimanapun, konflik bukan untuk dihindari tapi dikelola dan diselesaikan. Sekarang ini pengakuan lembaga adat dan mengenai pembinaan adat di Aceh mempunyai legalitas yaitu dengan lahirnya Qanun No. 9 Tahun 2008 Tentang Pembinaan Adat-istiadat dan Qanun No. 10 Tahun 2008 Tentang Lembaga Adat. Selain itu juga dengan lahirnya UUPA telah mengakui kembali eksistensi kemukiman yang dahulu semasa Orde Baru pernah diseragamkan dengan daerah lain.
Qanun No. 9 Tahun 2008 Tentang Pembinaan Adat-Istiadat
Pasal 13 jenis sengketa yang menjadi kewenangan Adat :
a. perselisihan dalam rumah tangga;
b. sengketa antara keluarga yang berkaitan dengan faraidh;
c. perselisihan antar warga;
d. khalwat meusum;
e. perselisihan tentang hak milik;
f. pencurian dalam keluarga (pencurian ringan);
g. perselisihan harta sehareukat;
h. pencurian ringan;
i. pencurian ternak peliharaan;
j. pelanggaran adat tentang ternak, pertanian, dan hutan;
k. persengketaan di laut;
l. persengketaan di pasar;
m. penganiayaan ringan;
n. pembakaran hutan (dalam skala kecil yang merugikan komunitas adat);
o. pelecehan, fitnah, hasut, dan pencemaran nama baik;
p. pencemaran lingkungan (skala ringan);
q. ancam mengancam (tergantung dari jenis ancaman); dan
r. perselisihan-perselisihan lain yang melanggar adat dan adat istiadat.

Tokoh-tokoh pelaksana penyelesaian adat di Gampong (pasal 14 ayat 2 dan 3)
•Di Gampong
a. Keuchik sebagai ketua
b. Sekretaris sebagai Panitera
c. Imuem Meunasah sebagai anggota
d. Tuha Peut sebagai anggota
e. ulama, tokohadat/cendekia di gampong
•Mukim
a. imuem mukim sebagai ketua
b. sekretaris mukim sebagai panitera
c. Tuha peut mukim sebagai anggota
d. ulama,tokoh adat/cendekia di mukim yang bersangkutan

Sanksi Adat (pasal 16 Qanun No. 9 Tahun 2008)
•Nasehat
•Teguran
•Pernyataan maaf
•Sayam
•Diyat
•Denda
•Ganti kerugian
•Dikucilkan oleh masyarakat Gampong atau nama lain
•Dikeluarkan oleh masyarakat gampong atau nama lain
•Pencabutan gelar adat
•Bentuk sanksi adat lainnya sesuai dengan adat setempat

Kelemahan dan hambatan peradilan Adat
•Belum ada hukum acara yang mengatur
•Sanksinya ada yang bertentangan dengan aturan perundang-undangan/konvenan berkaitan dengan HAM
•Prakteknya banyak terjadi budaya eigenrichting
•Berpotensi tidak fair, misal jika para pihak yang di sidang memiliki hubungan keluarga
•Aparat penegak hukum yang tidak mengakui dan tidak mengerti mengenai peradilan adat. Ex kasus penganiayaan ringan
Peluang dan kelebihan pelaksanaan peradilan adat
•Sistem hukum Indonesia yang berliku dan panjang sehingga memerlukan peradilan Alternative. Ex kasus menumpuk di MA
•Cepat, sederhana dan biaya ringan
•Adil (relatif)
•Win-win solution

Pelanggaran Hukum dan Budaya Eigenrichting

oleh : Zul Azmi
Maraknya kekerasan serta meningkatnya angka kriminalitas di Aceh selama ini patut menjadi perhatian bagi kita. Hampir setiap hari ada saja berita-berita kriminalitas yang memilukan bahkan menjadi tragis manakala kita membandingkan akar persoalan penyebab kriminalitas tersebut. Hanya karena persoalan yang sepele, berbuntut pada penganiayaan secara fisik bahkan sampai pada penghilangan nyawa.

Hampir setiap hari ketika kita membaca harian Metro Aceh, selalu dipenuhi dengan berita-berita kriminalitas. Jika di masa konflik kita hanya sering mendengar berita penembakan yang berujung pada kematian, yang dilakukan oleh pihak yang berkonflik namun di masa damai ini, justru para pelakunya adalah masyarakat sipil.

Hampir setiap hari kita disuguhi dengan berita tentang pencurian, perampokan, pembunuhan, peredaran narkoba, pemerkosaan, mesum, pelecehan seksual dsb. Jika di masa konflik yang melakukan hanya militer namun di masa damai ini, pelakunya justru warga masyarakat sipil sendiri.

Ironisnya, Syariát Islam yang seyogyanya dapat menurunkan angka perzinahan (mesum) justru di masa diterapkan Syariát Islam belum dapat menurunkan angka perzinahan tersebut. Padahal bila kita cermati, hukuman cambuk seharusnya dapat memberikan efek jera bagi si pelaku, namun hingga saat ini belum mampu untuk menurunkan angka persoalan tersebut.

Bahkan kehadiran Wilayatul Hisbah (WH) yang merupakan aparatur penegak Syariát Islam menuai pro dan kontra dari masyarakat. Masyarakat menjadi pesimis terhadap kemampuan WH dalam menegakkan Syariat Islam. Sehingga terkesan WH ‘tebang pilih’ dalam penegakan hukum syariáh di Aceh. Apalagi dengan adanya berita oknum WH juga melakukan pelanggaran terhadap Syariát Islam.

Maraknya angka kriminalitas di Aceh selama ini menjadi tanda tanya besar bagi kita. Aceh dikenal oleh luar dengan masyarakatnya yang Islami dan adanya penerapan Syariát Islam. Namun menjadi miris manakala banyak sekali pemberitaan tentang tentang kriminalitas di Aceh. Bukankah Islam sangat melarang perbuatan-perbuatan seperti khalwat, perampokan, pencurian, pemerkosaan dan angka kriminalitas lainnya?

Masalah Penegakan Hukum
Bila dicermati, ada beberapa hal yang menyebabkan lemahnya penegakan hukum pertama kesadaran/pengetahuan hukum yang lemah. Kesadaran/pengetahuan hukum yang lemah, dapat berefek pada pengambilan jalan pintas dalam menyelesaikan persoalan masing-masing. masyarakat yang tidak mengerti akan hukum, berpotensi besar dalam melakukan pelanggaran terhadap hukum. dalam hukum, dikenal dengan adanya fiksi hukum artinya semua dianggap mengerti akan hukum. Seseorang tidak dapat melepaskan diri dari kesalahan akan perbuatannya dengan alasan bahwa ia tidak mengerti hukum atau suatu peraturan perundang-undangan. Jadi dalam hal ini sudah sewajarnya bagi setiap individu untuk mengetahui hukum. Sedangkan bagi aparatur hukum atau elemen lain yang concern pada supremasi hukum sudah seharusnya memberikan kesadaran hukum bagi setiap individu.

Kedua adalah ketaatan terhada hukum. Dalam kehidupan sehari-hari tidak jarang budaya egoisme dari individu muncul. Ada saja orang yang melanggar hukum dengan bangga ia menceritakan perbuatannya kepada orang lain. Misalnya pelanggaran terhadap lalu lintas. Oleh pelakunya menganggap itu hal-hal yang biasa-biasa saja, bahkan dengan bersikap bangga diri ia menceritakan kembali kepada orang lain perbuatan yang telah dilakukannya. Hal semacam ini telah mereduksi nilai-nilai kebenaran, sehingga menjadi suatu kebudayaan yang sebenarnya salah.

ketiga adalah perilaku aparatur hukum. Perilaku aparatur hukum baik dengan sengaja ataupun tidak juga telah mempengaruhi dalam penegakan hukum. Misalnya aparat kepolisian yang dalam menagani suatu kasus dugaan tindak pidana, tidak jarang dalam kenyataannya juga langsung memvonis seseorang telah bersalah. Hal ini dapat dilihat dengan perilaku aparat yang dengan “ringan tangan” terhadap tersangka yang melakukan tindak pidana. Perilaku-perilaku semacam ini justru bukan mendidik seseorang untuk menghormati akan hukum. Ia menghormati hukum hanya karena takut akan polisi.

Keempat adalah faktor aparatur hukum. Seseorang yang melakukan tindak pidana, namun ia selalu bisa lolos dari jeratan pemidanaan, akan berpotensi bagi orang yang lain untuk melakukan hal yang sama. Korupsi yang banyak dilakukan namun banyak pelaku yang lepas dari jeratan hukum berpotensi untuk oleh orang lain melakukan hal yang sama. Adanya mafia peradilan, telah mempengaruhi semakin bobroknya penegakan hukum di negeri kita. Aparatur hukum yang sedianya diandalkan untuk menjunjung tinggi supremasi hukum, justru melakukan pelanggaran hukum. Sebagai akibatnya masyarakat pesimis terhadap penegakan hukum.

Budaya Eigenrichting
Penghargaan terhadap hak asasi orang lain adalah merupakan kewajiban, baik itu oleh individu maupun oleh aparatur penegak hukum sendiri. Adanya budaya main hakim sendiri (Eigenrichting) di masyarakat, merupakan tindakan yang jelas telah menyalahi aturan hukum. Dalam realitas, tidak jarang sesorang yang melakukan pencurian kemudian babak belur dihajar oleh masyarakat dan bahkan ada yang dibakar hingga mati.

Padahal dalam aturan hukum seseorang tidaklah dapat dianggap bersalah sebelum adanya keputusan pengadilan. Dalam proses peradilan tentunya telah ada pembuktian. Bila ia telah terbukti bersalah, barulah kemudian ia dapat dijatuhkan pidana. Sesuai dengan asas legalitas menyebutkan bahwa tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan. Tindakan main hakim sendiri juga telah mengangkangi semangat asas praduga tidak bersalah (persumption of innocence). Terkait dengan pencuri, bisa saja ia mengambil yang sebenarnya kepunyaannya sendiri.

Budaya main hakim sendiri, tidak hanya dilakukan oleh masyarakat akan tetapi juga dilakukan oleh aparatur penegak hukum. Misal pemukulan dan penembakan yang dilakukan oleh aparat kepolisian terhadap orang yang dicurigai melakukan suatu tindak pidana.

Eksistensi hukum pada hakikatnya adalah untuk mengatur perhubungan hukum dalam pergaulan masyarakat, baik antara orang seorang, orang yang satu dengan orang lain, antara orang dengan negara dan mengatur hubungan antara lembaga-lembaga negara yang ada pada Undang-undang negara termasuk dalam pelaksanaan pemerintahannya secara keseluruhan, khususnya dalam hal ini sangat penting untuk diperhatikan oleh seluruh aparat penegak hukum dalam rangka kekuasaan yang dijalankan agar dalam setiap tindakannya dapat mencerminkan hakikat daripada hukum itu. Sehingga dengan demikian perbuatan semena-mena yang menjauhkan cita-cita hukum dapat dihindarkan, maka untuk hal sedemikian cita-cita negara bernegara dan berbangsa yang dalam hubungan ini dapat mewujudkan keadilan sosial.

Hukum merupakan salah satu instrument pengendali social. Dalam roda kehidupan bermasyarakat maupun bernegara, tentunya tidak bisa terlepas dari persoalan-persoalan yang muncul karena perbedaan dan ketimpangan social. Hak-hak seseorang meskipun kecil sekalipun harus dihormati dan dilindungi, dalam hal ini Negara melalui instrument peradilan mempunyai kewajiban untuk memenuhi dan melindungi hak-hak setiap warga Negara.

Kontrol Sosial dan Peran Agama
Masyarakat merupakan sebuah entitas yang dalam kehidupan sehari-hari lansung berhadapan dengan persoalan-persoalan hukum dan penegakannya. Masyarakat memiliki peran yang besar dalam penegakan hukum dan pemajuan supremasi hukum. Banyaknya angka kriminalitas secara social bisa ditekan ketika adanya budaya taat akan hukum. Sehingga peluang terjadinya pelanggaran dapat dipersempit.

Dalam kehidupan, suadah ada norma social yang harus dipatuhi. Sebenarnya norma social ini telah menjadi alat pengontrol dari pelanggaran hukum. Misal seseorang diharuskn untuk menghormati hak dan kehidupan orang lain. Tentunya bila masyarakat mematuhi norma-norma yang berkembang dalam masyarakat juga bisa mencegah terjadinya pelanggaran-pelanggaran terhadap norma-norma lainnya, seperti norma hukum, norma agama, adat dan norma-norma lainnya. terlebih di Aceh yang sudah berpuluh tahun bisa mensandingkan antara adapt dan agama merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan. Ibarat dua sisi mata uang.

Aturan agama juga menjadi suatu pencegah terhadap tindakan pelanggran terhadap hukum. nabi Muhammad SAW di masanya telah menjalankan system perailan. nabi Muhamad SAW telah mengangangkat Muadz sebagai hakim, untuk menjalankan peradilan di Medinah.

Sama halnya dengan proses peradilan dewasa ini, di masa nabi dan para sahabat system peradilan juga mensyaratkan adanya proses pembuktian. Seseorang yang dituduh telah melakukan suatu pelanggaran, maka ia harus membuktikan di perasidangan bahwa orang tersebut bersalah. Jadi budaya eigenrichting (main hakim sendiri) yang lumrah terjadi dalam masyarakat kita merupakan perbuatan yang tidak mengikuti akan sunnah rasul dan tidak mematuhi hukum.

Penutup
Meningkatnya angka kriminalitas yang terjadi di Aceh dewasa ini patut menjadi perhatian kita bersama. Perbuatan yang dilakukan sebenarnya tidak hanya melanggar norma hukum positif, akan tetapi juga telah melanggar norma-norma agama, norma social, norma susila dan norma lainnya.

Meningkatnya angka kriminalitas yang terjadi di Aceh sangat ironi dengan predikat dari luar masyarkat Aceh merupakan masyarakat yang Islami dan melaksankaan Syariát Islam dalam kehidupan sehari. Penulis berharap dengan maraknya kriminalitas yang terjadi di Aceh patut menjadi bagian dari introspeksi kita bersama. Jangan sampai predikat Nanggroe Islami justru menjadi beban bagi kita serta menjadi bahan olok-olokan dari masyarakat luar yang tidak sepakat dengan Syariát Islam.

Kita berharap lembaga-lembaga social, lembaga agama, aparatur penegak hukum mari bersama-sama kita melakukan pencegahan terhadap penyakit social masyarakat ini dengan tetap menjung tinggi harkat dan martabat manusia serta menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. Budaya Eigenrichting yang marak terjadi tentunya mulai dari sekarang tidak terjadi lagi. Karena pemidanaan sebenarnya tidak hanya membuat jera si pelaku akan tetapi membentuk kesadaran dan mendidik individu tersebut untuk menaati norma hukum dan norma-norma lainnya.
Demonstrasi; Hak atau Larangan?
Oleh : Zul Azmi, SH

Salah satu ciri negara hukum adalah adanya kebebasan berpendapat, kebebasan beorganisasi dan jaminan serta adanya perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) yang mengandung persamaan dalam bidang politik, sosial, ekonomi dan budaya. Indonesia merupakan negara hukum sebagaimana yang telah ditegaskan dalam UUD 1945 pasal 1 ayat (3) yang berbunyi negara Indonesia adalah negara hukum.

Setiap negara yang menyatakan diri sebagai negara hukum, maka harus memenuhi segala persyaratan sebagai sebuah negara hukum. Indonesia sebagai sebuah negara hukum telah mendasarkan pada adanya konstitusional.

Kebebasan berpendapat di muka umum baik lisan dan tulisan serta kebebasan untuk berorganisasi merupakan hak setiap warga negara yang harus diakui, dijamin dan dipenuhi oleh negara. Indonesia sebagai sebuah negara hukum telah mengatur adanya jaminan terhadap kebebasan untuk berserikat dan berkumpul serta kebebasan untuk menyampaikan pendapat baik lisan maupun tulisan dalam UUD 1945 dan UU No.9 Tahun 1998 Tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum.

Pasal 28 UUD 1945 menyebutkan bahwa kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang. Pasal 1 ayat (1) UU No.9 Tahun 1998 menyebutkan kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Aksi massa atau demonstrasi merupakan salah satu hak rakyat yang dilindungi oleh negara dalam konstitusi dasar dan undang-undang. Kemerdekaan menyampaikan pendapat ini merupakan sarana bagi rakyat untuk menggapai tujuannya. Sebagian rakyat mengakui bahwa demonstrasi merupakan salah satu cara yang efektif untuk mencapai kepentingannya.

Perubahan yang ingin dicapai oleh sebagian masyarakat masih meyakini bahwa kekuatan massa yang tidak bersenjata mampu untuk mempengaruhi kebijakan. Kita masih ingat bahwa kejatuhan rezim otoritarian Soeharto yang telah berkuasa dan tidak terusik selama 32 tahun, mampu dijatuhkan oleh kekuatan demonstrasi massa.

Ada banyak kejadian lainnya yang juga tercapai karena demonstrasi. Dengan demikian dalam hal ini demonstrasi merupakan salah satu cara yang digunakan untuk mencapai tujuan. Hanya saja yang membedakan adalah pada dataran demonstrasi demi tujuan politik praktis atau jangka panjang. Untuk kepentingan masing-masing kelompok atau demi kemaslahatan orang banyak.

Jika kita kaji secara konstitusional, demonstrasi merupakan hak yang harus dilindungi oleh Pemerintah. Namun di sisi lain, orang yang melakukan demonstrasi juga harus mentaati peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku.

Sebagaimana yang telah disebutkan di atas, dasar hukum demonstrasi adalah pasal 28 UUD 1945 dan UU No.9 Tahun 1998. Sehingga para peserta demonstrans memiliki legalitas dalam aksinya. Namun di sisi yang lain, hak menyampaikan pendapat di muka umum menjadi terkendala ketika pelaksananya dapat dijerat pidana pasal 160-161 tentang penghasutan.

Pasal-pasal inilah yang banyak menjerat para aktivis ketika melakukan demonstrasi. Sebenarnya pasal ini bisa dijalankan ketika hasutan itu dilakukan terhadap khalayak ramai untuk melakukan perbuatan pidana. Namun dalam prakteknya, banyak para aktivis yang harus tersandung dengan pasal ini. Meskipun yang dilakukan oleh aktivis dalam rangka bagian dari partisipasi publik dan advokasi terhadap masyarakat, namun mereka tetap saja dapat dijerat dengan pasal penghasutan tersebut.

Padahal, mustahil ketika dalam demonstrasi tidak membawa alat peraga berupa poster atau selebaran. Suatu hal yang mustahil juga dalam demonstrasi tidak melakukan orasi. Sebab, pada intinya tujuan demonstrasi adalah mengabarkan kepada publik (masyarakat luas) tentang hal apa yang terjadi dan hal apa yang diinginkan.

Suatu hal yang mustahil juga dalam demonstrasi tidak ada penanggung jawab dan komando massa. Secara sederhana, ketika kita mempunyai masalah, maka kita akan menyampaikan kepada orang lain agar bisa membantu dan memberikan solidaritas kepada kita. Dengan demikian, demonstrasi sudah barang tentu ada penggeraknya. Namun permasalahannya apakah hal itu merupakan suatu tindak pidana penghasutan? Tabir kezaliman yang dituangkan dalam selebaran dan dapat dipertanggung jawabkan apakah suatu tindak pidana penghasutan? Tulisan akademik dalam bentuk kritikan terhadap penguasa apakah juga dapat dikategorikan ke dalam tindak pidana penghasutan?

Jika benar itu semua penghasutan, maka perlu dipertegas dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku tentang mekanisme demonstrasi secara detail. Karena sangat jarang kita temukan dalam demonstrasi hanya memuji Pemerintah atau dalam demonstrasi para demonstrannya hanya diam saja tanpa membawa dan memakai alat peraga.

Mencermati problem di atas, pada dasarnya akan terjawab ketika aparatur negara benar-benar menjalankan prinsip negara hukum dan demokrasi, serta mentaati hak Sipil dan Politik.

Sebagai sebuah negara yang menyatakan diri sebagai negara hukum dan demokrasi tentunya dapat diukur dari adanya penegakan, pemenuhan dan pemajuan terhadap hukum dan HAM dalam lingkungan berbangsa dan bernegara. Saat ini semua negara menyatakan diri sebagai negara hukum dan demokrasi. Hanya saja sistemnya yang berbeda-beda. Masing-masing sistem hukum negara memiliki perbedaan, namun pada dasarnya mempunyai cita-cita yang sama yaitu terselenggaranya sebuah negara yang demokratis serta menjunjung tinggi hukum, HAM dan demokrasi.

Pada dasarnya sebuah negara hukum telah include persoalan-persoalan berkaitan dengan HAM dan demokrasi. Karena berbagai macam regulasi yang dibuat merupakan bagian dari realisasi terhadap HAM. Secara prosedural juga telah memenuhi asas kontrak sosial suatu negara. Berbagai regulasi yang ada merupakan bentukan dan hasil kesepakatan rakyat melalui mandatarisnya. Dengan demikian telah mengakomodir prinsip demos dan cratein.

Indonesia yang telah menyatakan sebagai sebuah negara hukum, telah meratifikasi berbagai konvenan Internasional yang bertujuan untuk tercapainya sebuah negara hukum. Seperti Konvenan Internasional hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (Ekosob) yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui UU No.11 Tahun 2005 serta hak-hak sipil dan politik (Sipol) yang diratifikasi melalui UU No.12 Tahun 2005. Ke dua konvenan Internasional tersebut merupakan bagian dari Universal Declaration of Human Rights (UDHR) atau deklarasi umum tentang hak-hak asasi manusia. Secara keseluruhan baik hak Ekosob maupun Sipol telah diatur dalam regulasi nasional seperti UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia serta diatur juga dalam berbagai peraturan perundang-undangan lainnya.

HAM memiliki hak-hak positif (positive rights) dan hak-hak negatif (negative rights). Hal ini mengingat model pemenuhannya yang berbeda. Hak ekosob merupakan hak positif (positive rights). Negara melalui aparaturnya perlu peran besar dalam pemenuhan hak-hak tersebut. Seperti hak warga negara atas kesejahteraan, pendidikan, perumahan, kesehatan, pekerjaan, jaminan sosial, terbebas dari kelaparan, lingkungan yang sehat dan lain sebagainya. Jika masih banyak warga negara dilanda kelaparan, lapangan pekerjaan yang sempit, banyak anak-anak tidak bersekolah/putus sekolah, lingkungan yang tidak sehat, kesehatan warga negara yang tidak terjamin, maka negara telah melakukan pelanggaran hak-hak Ekosob. Aparatur negara yang merupakan action person untuk mewujudkan cita-cita negara telah gagal dalam penyelenggaraan negara.

Sedangkan negative rights dapat kita lihat pada hak-hak sipil dan politik (Sipol). Dalam negative rights, negara dalam pemenuhannya haruslah bertindak pasif. Hal ini berbeda dengan hak-hak ekosob dimana negara harus bertindak aktif. Misalnya hak-hak warga negara untuk berorganisasi dan mendirikan serikat, hak ikut serta dalam urusan penyelenggaraan publik, hak untuk berpendapat baik lisan maupun tulisan, hak tidak ditangkap dan ditahan secara sewenang-wenang, hak tidak diperlakukan atas penghukuman yang kejam dan tidak manusiawi serta merendahkan martabat, hak berkumpul yang bersifat damai, hak untuk tidak dihukum karena tidak ada dasar hukum, hak tidak dipenjara karena seseorang tidak mampu memenuhi kewajiban kontraktualnya, hak tidak diperlakukan asas retroaktif dalam perundang-undangan pidana dan lain sebagainya. Secara terperinci telah termaktub dalam Konvenan Internasional Hak-hak sipil dan politik.

Terhadap hak Sipol, negara tidak dibenarkan terlalu ikut campur karena ketika negara terlalu ikut campur maka akan berpotensi terlanggarnya hak-hak tersebut. Misalnya mematai-matai setiap warga negara yang melakukan dan menyelenggarakan diskusi dan seminar, mencurigai orang untuk berkumpul, melakukan penyiksaan, menangkap dan menahan orang yang bersalah dengan tidak memenuhi peraturan perundang-undangan hukum acara pidana, merendahkan martabat tersangka, menghalang-halangi warga negara untuk mengkritisi kebijakan pemerintahan, mengahalang-halangi warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum dan lain sebagainya. Agar terjaminnya hak-hak Sipol, aparatur negara tidak perlu ikut campur tangan yang berlebihan atau dengan kata lain harus bertindak pasif. Aparatur negara hanya perlu memastikan saja agar hak-hak ini terjamin dan terselenggara dengan baik.

Rabu, 13 Agustus 2008

ARUK Tolak Kriminalisasi Terhadap Pegiat HAM

ARUK
(Aliansi Rakyat Untuk Keadilan)
LaPAK, FPRM, MASKOT, Kaukus Muda Progresif Kota Langsa, CSC,FRAT, KPA Kota Langsa, Yayasan Bustanul Fakri, SRB, Dosen Fakultas Hukum, SEUPAKAT,
PAS, FORMED, HMI Komisariat Tarbiyah STAIN COT KALA, Sheep, Kontras Aceh Timur, Gepegom, JKMA Suloh, PeLKid



Kepada Yth;
Wartawan Media Cetak dan Elektronik
Di_
Tempat


Pers Release ;



Aliansi dari LSM, Organisasi Masyarakat, Mahasiswa dan Akademisi yang tergabung di ARUK yang merupakan perwakilan dari berbagai elemen sipil yang berdomisili di Aceh Tamiang, Kota Langsa dan Aceh Timur yang sampai saat ini menginginkan agar penegakan supremasi hukum di Aceh pada khususnya serta Indonesia menjadi lebih baik.
Berawal dari adanya persoalan konflik pertanahan antara masyarakat tani di Aceh Timur dengan PT.Bumi Flora, salah satu dari bentuk perjuangan kasus dari adanya konflik pertanahan itu pada tanggal 3 Juli 2007 + 3000-an massa korban konflik pertanahan yang tergabung dalam FORJERAT (Forum Perjuangan rakyat Atas Tanah) melakukan aksi massa damai dengan sasaran menemui Bupati dan DPRK Aceh Timur untuk mengadukan persoalan dan meminta penyelesaian konflik pertanahan secara prosudur hukum dalam semangat bersama menjaga perdamaian di Aceh tercinta.

LBH Banda Aceh sebagai kuasa hukum penyelesaian konflik pertanahan dari organisasi FORJERAT, mengawali dengan melakukan upaya advokasi nonlitigasi berupa aksi massa, namun kemudian upaya ini memberi dampak dikriminalisasikannya 8 orang pekerja LBH Banda Aceh, yang mana telah dianggap melakukan Penghasutan di muka umum serta diadili dalam persidangan Pengadilan Negeri Langsa.
8 orang pekerja LBH Banda Aceh dijerat dengan dakwaan Primeir Pasal 160 jo 56 ke 1 dan 2 KUHP dan Susidair Pasal 161 jo 56 ke 1 dan 2 dengan ancaman hukuman 4 tahun hingga 6 tahun penjara. ”Pasal yang digunakan itu adalah pasal hatzai artikelen atau yang sering disebut pasal karet warisan produk hukum jaman kolonial”.

ARUK (Aliansi Rakyat Untuk Keadilan) menyayangkan banyak waktu yang terbuang (mubazir) dengan adanya rutinitas dalam proses persidangan di Pengadilan Negeri Langsa dari dampak kriminalisasi 8 pekerja LBH, hal ini dianggap sangat tidak produktif, seharusnya waktu dalam rutinitas persidangan itu dapat dimanfaatkan untuk kerja-kerja pelayanan bantuan hukum terhadap rakyat miskin.

Dampak dari kriminalisasi, adalah pembungkaman terhadap penggiat HAM, pembungkaman terhadap penggiat HAM adalah gaya pemerintahan Rezim Orde Baru, kita yang tergabung di ARUK sangat menyesalkan adanya bentuk Kriminalisasi ini. ARUK merasakan saat ini belum adanya kesunguh-sunguhan dari Institusi Negara yang seharusnya mengikuti semangat Reformasi dan perjanjian damai RI dan GAM.

Peran negara yang seharusnya menghargai dan melindungi rakyat dalam Kebebasan Mengeluarkan Pendapat seperti yang tertuang dalam UUD 1945 pada pasal 27 ayat (1), pasal 28, pasal 28 C ayat (1) dan (2), pasal 28 D ayat (1), pasal 28 E ayat (2) dan (3), pasal 28 F dan UU No 9 Tahun 1998 Tentang Mengeluarkan Pendapat Di Muka Umum. kita rasakan kebijakan negara terkesan masih sangat mencerminkan kondisi negara yang otoriter, anti demokrasi dan belum berpihak pada penyelesaian persoalan rakyat kecil (Grass Root).

Pada hari kamis tanggal 14 Agustus 2008 mendatang di Pengadilan Negeri Langsa merupakan agenda pembacaan putusan akhir terhadap 8 orang pekerja LBH Banda Aceh yang mana sebelumnya Jaksa Penuntut Umum melalui persidangan tuntutan, menuntut agar 8 orang pekerja LBH Banda Aceh ditahan selama 3 bulan penjara serta membayar segala biaya perkara.

ARUK sangat menyanyangkan apabila pada putusan persidangan 14 Agustus 2008 mendatang, Majelis Hakim sampai memutuskan memberikan sangsi hukum terhadap 8 orang pekerja LBH Banda Aceh. Hal ini dianggap dapat memberi dampak presedent buruk terhadap perkembangan proses demokratisasi serta bukan tidak mungkin juga bisa menghambat kerja-kerja Advokasi rakyat yang selama ini dilakukan oleh teman-teman penggiat HAM lainnya yang ada di Aceh khususnya dan di Indonesia.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb

Langsa, 13 Agustus 2008
Koordinator ARUK Juru Bicara ARUK


Julfri Darwis

Selasa, 12 Agustus 2008

Apapun Hasil Putusan Akhir Persidangan 8 Orang Terdakwa Pekerja LBH Banda Aceh, FORJERAT Tetap Tuntut “Joek Pulang Tanoh Kamoe” (Kembalikan Tanah Kami

FORJERAT
(Forum Perjuangan Rakyat Untuk Tanah)
Jl. Irigasi, Dusun Buket Kawah, Desa Jambo Reuhat, Kecamatan Banda Alam
Aceh Timur


Kepada Yth;
Kawan-kawan Media Cetak dan Elektronik
Di –
Tempat.

Pers Release

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Dengan Hormat,
Kami masyarakat korban penyerobotan tanah oleh PT Bumi Flora yang tergabung dalam organisasi FORJERAT (Forum Perjuangan Rakyat Untuk Tanah), merasakan adanya keanehan dalam proses penerapan hukum di daerah ini. Adanya dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh PT. Bumi Flora, seharusnya pihak aparatur hukum melakukan penyelidikan terhadap dugaan tersebut agar jelas titik persoalannya sehingga ditemukanlah sebuah fakta pelanggaran hukum.

Persoalan pelangaran HAM banyak terjadi di Aceh semasa konflik, Kabupaten Aceh Timur salah satunya daerah yang terparah atas imbas konflik yang terjadi. Daerah kami juga menjadi salah satu daerah yang terkena imbas konflik. Pada tahun 1990-an, merupakan awal terjadinya penyerobotan tanah tempat tinggal dan tanah tempat kami untuk mencari nafkah. Berbagai upaya telah kami lakukan agar tanah kami tidak diambil. Tanah tersebut merupakan tempat kami lahir dan tempat untuk membesarkan anak-cucu kami kelak di kemudian hari.

Berbagai macam cara telah dilakukan oleh PT Bumi Flora untuk merampas tanah kami. Mereka telah menggunakan cara-cara intimidasi dan teror, yang bertujuan agar kami masyarakat mau melepaskan tanah kami untuk kepentingan pengadaan lahan perkebunan PT.Bumi Flora. Bahkan, tiga orang masyarakat kami yang tergabung dalam organisasi Berdikari meninggal dunia karena berusaha keras untuk mempertahankan tanah. Pertanyaannya kemanakah kami harus mengadu pada saat konflik? Tidak ada sikap lain pada saat itu selain hanya pasrah dan berdiam diri.

Kami sebagai masyarakat yang awam akan ilmu hukum, tentunya di masa yang telah damai, kami harus mengadukan persoalan penyerobotan tanah yang telah terjadi ini kepada pihak yang mengerti hukum. YLBHI-Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh merupakan sebuah lembaga yang kami kenal sebagai lembaga yang mengerti hukum dan siap menampung berbagai persoalan-persoalan hukum yang terjadi. Karenanya, pilihan kami adalah melaporkan dan meminta bantuan hukum terkait penyerobotan tanah kami kepada lembaga ini.

Kami sebagai warga masyarakat korban penyerobotan tanah yang tergabung dalam FORJERAT menyambut baik, setelah kami melaporkan kasus, YLBHI-LBH Banda Aceh langsung terjun ke lapangan untuk melakukan pencarian bukti-bukti tentang adanya penyerobotan tanah yang pernah terjadi.

Masyarakat yang sebelumnya memiliki cara dalam penyelesaian masalah dengan mengambil alih kembali tanah yang telah diserobot oleh PT. Bumi Flora dengan sadar hal tersebut punya potensi terjadinya kekerasan. Ketika kasus ini didampingi oleh YLBHI-LBH Banda Aceh, masyarakat diarahkan untuk berpikir rasional agar tetap mengunakan cara-cara perjuangan yang tidak melawan hukum. Kesepakatan bersama kita menggunakan langkah litigasi dan non-litigasi. Anehnya, dalam proses penyampaian aspirasi lewat aksi massa damai FORJERAT pada tanggal 3 juli 2007 dengan sasaran Kantor Bupati dan DPRK Aceh Timur, 8 pekerja YLBHI-LBH Banda Aceh dijadikan tersangka oleh pihak kepolisian Resort Kota Langsa dengan tuduhan telah melakukan penghasutan di muka umum. Kriminalisasi terhadap 8 pekerja ini jelas-jelas menjadi pukulan bagi kami, karena mereka sedang memperjuangkan aspirasi kami.

Kami merasa dengan dikriminalkan 8 pekerja YLBHI-LBH Banda Aceh sebagai kuasa hukum masyarakat korban, semakin tidak jelas penyelesaian kasus penyerobotan tanah yang dilakukan oleh PT Bumi Flora. Kami mengkhawatirkan kasus penyerobotan tanah akan terpendam seiring dengan adanya kriminalisasi terhadap kuasa hukum kami. Ketidakjelasan dalam penyelesaian kasus penyerobotan tanah oleh PT Bumi Flora merupakan awal kekalahan rakyat dalam perjuangan mendapatkan hak atas tanahnya kembali.

Saat ini mereka sedang tersangkut dalam persoalan hukum dengan status sebagai terdakwa, dan tepat pada hari kamis, tanggal 14 Agustus 2008 esok merupakan hari penentuan bagi 8 pekerja YLBHI-LBH Banda Aceh. Kami masyarakat korban penyerobotan tanah yang tergabung dalam FORJERAT berharap keadilan masih berpihak kepada rakyat lemah dan miskin. Bila hukum memberikan keadilan untuk rakyat lemah, semestinya yang duduk di kursi persidangan adalah PT Bumi Flora beserta kroninya karena mereka yang telah menyerobot tanah kami.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb
Idi Rayeuk, 13 Agustus 2008
Wakil Ketua Umum FORJERAT Sekretaris



Tgk. Idris A.Manaf M. Ali Daud

Untuk konfirmasi
Contact Person : Tgk. Idris A.Manaf (085262820995)

Minggu, 20 Juli 2008

Homo Homini Lupus

(sebuah Refleksi HAM di Aceh)

oleh : Zul Azmi, S.H.

.Negara menurut teori Thomas Hobbes dibutuhkan untuk mencegah kesewenang-wenangan pihak yang mempunyai kekuatan dan kekuasaan terhadap rakyat yang lemah. Hobbes menilai bahwa negara dibutuhkan perannya yang besar agar mampu mencegah adanya “homo homini lupus” atau manusia menjadi serigala bagi manusia lainnya. Hobbes memunculkan teori ini karena di masanya ia melihat adanya kesewenang-wenangan terhadap golongan yang lemah, sehingga perlu adanya peran negara untuk mencegah ini..

Apa yang telah dikemukakan oleh Thomas Hobbes masih sangat relevan dengan kondisi Aceh saat ini. Masa konflik atau saat diberlakukannya Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh, merupakan masa yang paling suram terhadap supremasi hukum di Indonesia. Masa ini merupakan masa terjadinya pelanggaran HAM baik itu pelanggaran Hak-hak sipil dan Politik (Sipol) maupun pelanggaran terhadap hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (Ekosob). Penghilangan nyawa secara paksa, pembunuhan diluar prosedur hukum, dan penyiksaan adalah telah dilanggarnya Hak-hak Sipil dan Politik.

Namun di balik itu, ternyata situasi konflik telah dimanfaatkan oleh golongan yang berwatak kapitalis untuk melangsungkan kepentingan ekonominya. berbagai macam dalih dan alasan yang digunakan untuk meloloskan kepentingannya. Dengan dalih Developmentalisme, situasi konflik makin memuluskan kepentingan mereka untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya.

Dengan memanfaatkan birokrasi dan kekuatan bekingan, golongan kapitalis yang berwujud dalam simbol perusahaan, telah menjadikan Aceh sebagai lahan eksploitasi yang sangat strategis. Tidak peduli prosedur hukum dan kemanusiaan, yang terpenting hasrat untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya harus bisa diwujudkan. Itulah kekejaman, keburukan dan kejelekan dari kapitalisme yang saat ini bermetamorfosis dengan berbagai bentuk yang lainnya.

Penyerobotan tanah dan upaya pengambilan tanah secara paksa dari masyarakat ternyata persoalan yang sudah lumrah terjadi di masa konflik. Masyarakat yang sadar untuk membela hak-haknya, namun apa daya, masyarakat terpaksa harus diam dan pasrah menerima realitas yang terjadi. Lantas di manakah para pejuang demokrasi dan pegiat HAM saat itu? Jawabannya kembali dengan sebuah pertanyaan, siapa yang sanggup menghadapi kekuatan bedil dan kekuatan birokrasi yang terstruktur? jawabannya adalah ajal akan menjemput bagi siapa saja yang berani untuk menghadang.

Wal hasil, kapitalis semakin tidak ada hambatan lagi untuk untuk melakukan eksploitasi ekonominya di Aceh. Kekuatan-kekuatan pemrotes, kekuatan-kekuatan penghambat lainnya mampu dibungkam dengan aliran dana untuk membela dan melanggengkan kepentingan mereka

Adanya Akademisi, adanya aktivis HAM dan tokoh-tokoh yang memiliki idealisme juga tidak bisa berbuat banyak terhadap realitas yang terjadi. Ibarat tikus dalam mulut ular, meronta-ronta namun tetap jua tidak berhasil melepaskan diri. Pelanggaran HAM terus berlangsung selama 10 tahun di Aceh.

Tatkala rezim yang paling ditakuti hancur, sesaat itulah riak-riak perlawanan dikumandangkan. Saat itulah mulai muncul keberanian rakyat untuk menyuarakan berbagai kebobrokan, kebohongan dan kekejaman rezim yang berkuasa. Rakyat kemudian menghendaki adanya perubahan yang signifikan.

Rezim otoritarian telah berganti, namun kita tidaklah harus hidup dalam euforia yang berkepanjangan. Masih banyak pekerjaan, masih banyak hal yang harus dirubah. Perubahan tidak akan datang dengan hanya berharap turun dari langit, perubahan perlu kita lakukan. Teringat dalam sebuah ayat Al-Quran yang berbunyi “tidaklah Kami ubah nasib sesuatu kaum, sebelum mereka sendiri yang mengubahnya.”

Saat ini Aceh telah damai, tentunya banyak yang selalu mengatakan Aceh telah damai, jadi lupakan semua kejadian di masa konflik karena bila diingat akan berpotensi kembali terjadinya konflik. Rasa-rasanya ada benar juga apa yang dikatakan oleh mereka itu. Namun, perlu kita kritisi kembali sebenarnya bagaimana konsep melanggengkan perdamaian itu?

Teringat pada sebuah buku yang pernah saya baca dengan Judul “Pantat Bangsaku”, dalam buku itu tersirat bahwa bangsa Indonesia dengan mudahnya melupakan sejarah kekejaman masa lalu dan sejarah bobroknya pemerintahan. Semenjak membaca buku itu saya kembali teringat haruskah saya melupakan kekejaman yang terjadi di masa lalu?

Aceh yang masyarakatnya sangat kental dengan Syariat Islam. Masyarakat Aceh sangat akrab dengan kitab-kitab kuning. Dalam masa duduk di pesantren tradisional, selalu terngiang-ngiang akan hukum Islam terkait dengan pembunuhan. Dijelaskan oleh Teungku (guru ngaji) bahwa hukum membunuh dalam Islam adalah nyawa dibayar dengan nyawa kecuali bagi pihak korban/ahli waris mau menerima damai dengan syarat dibayarnya diyat (ganti kerugian).

Komisi Kebenaran dan rekonsiliasi (KKR) yang bertugas untuk mencari kebenaran dan rekonsiliasi serta Pengadilan HAM yang bertugas untuk memeriksa dan mengadili pelanggaran HAM di Aceh, akan dibentuk secara khusus sesuai dengan amanah UU No.11 Tahun 2006. Namun bagaimana nasib UU KKR setelah dijudicial review oleh Mahkamah Konstitusi? semuanya belum ada kepastian hukum terhadap dua lembaga tersebut yang akan dibentuk di Aceh.

Badan Reintegrasi Aceh (BRA) yang mempunyai kewajiban untuk menyelesaikan persoalan integrasi, dalam prakteknya juga menuai berbagai masalah.

Pekerjaan-pekerjaan di atas merupakan tanggung jawab negara untuk menyelesaikan melalui aparaturnya. Baik Pemerintah Pusat maupun pemerintah Aceh sama-sama memiliki tanggung jawab terhadap penyelesai persoalan hukum dan HAM di Aceh. Damai itu indah bila penjahat HAM diadili, damai itu indah bila persoalan-persoalan pelanggaran hukum dan pemenuhan HAM terhadap rakyat sebagai warisan dari zaman konflik bisa diselesaikan. Jika tidak, kembali kita mengacu pada pendapatnya Thomas Hobbes Homo homini lupus artinya manusia menjadi serigala bagi manusia lainnya.

Sebagai kesimpulan dari tulisan ini, apakah negara bisa mencegah manusia menjadi serigala bagi manusia lainnya? atau justru negara yang menjadi serigala bagi rakyatnya yang lemah.

Penulis : Zul Azmi, S.H
(Mantan Ketua Ikatan Mahasiswa Korban DOM Aceh (IMKDA)Yogyakarta)

Sabtu, 19 Juli 2008

Jurnalisme Transformatif

Oleh : Zul Azmi

Jurnalisme berasal dari dua kata yaitu jurnal dan isme. Jurnal adalah segala bentuk kegiatan yang berkenaan dengan tulisan. Sedangkan isme adalah suatu paham jadi, jurnalisme adalah paham/kegiatan yang berkaitan dengan tulis menulis. Dewasa ini, jurnalis dimaksudkan bagi mereka yang berprofesi sebagai orang yang memberitakan kembali suatu peristiwa atau kejadian.

Tidak hanya itu orang yang sering menulis artikel atau opini di media massa juga dapat dikatakan sebagai jurnalis. Jurnalis adalah merupakan salah satu profesi yang sangat penting dan sentral. Orang yang berprofesi sebagai jurnalis disebut sebagai wartawan, yaitu mereka yang bekerja pada perusahaan yang bergerak dalam bidang pemberitaan.

Pers sangat berpengaruh dalam pembentukan opini publik. Karena sentralnya perusahaan pers, sehingga menyebabkan perhatian pada lembaga ini sangat kuat oleh publik. Pemerintah khususnya pada masa Orde Baru berusaha untuk mengintervensi pers agar dalam pemberitaannya tidak menyudutkan pemerintah. Pers pada saat itu ada dalam bayang-bayang pembredelan bila tidak mengikuti kemauan pemerintah.

Salah satu syarat negara demokrasi adalah adanya kebebasan pers, namun pers yang bebas bukan berarti kehilangan kendali. Banyak orang yang selalu mewacanakan agar harus independen dan tidak memihak. Namun, dalam realitas kita temukan pers tidak bebas dari kepentingan dan keberpihakan. Jika pun demikian, kepada siapakah pers harus berpihak? Penguasa, pemilik modal, atau kepada sebagian golongan. Untuk hal ini penting untuk diperhatikan dalam rangka untuk mewujudkan negara demokrasi yakni pers yang bebas dari intervensi pemerintah, sebagian golongan dan pemilik modal.

A. Sejarah Perkembangan Pers di Indonesia

Pada dasarnya ada tiga macam bentuk Pers di Indonesia, yaitu Pers Belanda, Pers Melayu-Tionghoa dan Pers Indonesia. Pers Belanda pada masa penjajahan colonial, sudah tentu berorintasi pada kepentingan Eropa dan pemerintahan colonial Belanda. Ia menutup mata bagi keadaan dalam masyarakat Indonesia, bahkan untuk mengetahui apa yang terdapat dalam Pers Indonesia saja dirasa tidak perlu.

Kantor Berita ANETA memegang peranan yang kuat dalam dunia jurnalis di Indonesia pada masa colonial, monopoli surat pemberitaan. Kantor berita ini menjadi kuat karena didukung oleh Pemerintahan Hindia Belanda. Selama perang Dunia I, ANETA melayani berita-berita penting dari medan pertempuran dalam waktu 24 jam setelah peristiwa terjadi, walaupun kemudian diadakan blockade terhadap berita-berita perang.

Kedua, adalah Pers Melayu-Tionghoa. Pers ini berkembang seiring dengan kebutuhan masyarakat tionghoa akan berita. Masyarakat Tionghoa adalah masyarakat yang sebagian besarnya adalah masyarakat yang makmur, sehingga banyak pengusaha-pengusaha yang butuh akan Pers untuk pasang iklan di media surat kabar. Golongan ini, yang merupaka golongan yang lebih makmur daripada golongan bumiputra, dengan sendirinya merupakan pelanggan surat kabar yang mampu membayar langganan dengan teratur. Modal yang menjadi syarat usaha percetakan dan penerbitan pun mudah didapat bagi usaha pers, baik melalui ikatan keluarga maupun dunia usaha.

Ketiga, adalah Pers Indonesia berdiri pada tahun 1907 yang bernama Medan Prijaji yang merupakan suara golongan priayi. Media ini dipelopori oleh RM Tirtoadisuryo dan pada tahun 1910 media ini terbit setiap hari, sebelumnya media ini hanya terbit seminggu sekali (mingguan). Media pribumi ini adalah media yang acapkali mengkritik terhadap pemerintahan Hindia-Belanda sehingga tokoh pendirinya pernah dibuang ke Lampung karena karangan-karangannya yang tajam terhadap penguasa.

Tirtohadisuryo adalah merupakan pelopor Pers pribumi di Indonesia. Pers Indonesia lahir karena semangat untuk mengimbangi media-media terbitan lain seperti media terbitan melayu-Tionghoa, serta media terbitan Belanda. Pada masa mudanya, tirtoadisuryo bekerja pada media yang dimilki oleh orang-orang Belanda.

B. Pengertian Jurnalisme Transformatif

Jurnalisme Transformatif adalah adalah paham jurnalis untuk membuat perubahan. Semangat jurnalisme transformative ini pertama sekali diperkenalkan oleh Tirtoadisuryo atau sebutan Minke dalam karya Pramodya Ananta Toer. Tidak banyak orang yang mengenang dan menampilkan tirto adisuryo, hanya Pram yang sempat menulis tentang Adisuryo. Semangat Tirtoadisuryo untuk membangun nasionalis masyarakat Indonesia akan realitas yang terjadi, membuat para pimpinan pemerintahan Belanda menjadi bergeming. Medan prijaji, Koran yang dididirikan olehnya, pernah mendapat penggrebekan oleh colonial Belanda.

Tirtoadisuryo melihat realitas masyarakat pribumi yang masih ketinggalan daripada masyarakat golongan Tionghoa dan Belanda, tergerak keinginannya untuk melakukan perubahan masyarakat melalui medianya. Koran yang ia dirikan menjadi Koran yang mempelopori pergerakan kemerdekaan Indonesia dari jajahan Belanda. Meskipun korannya sempat kehabisan modal dalam gerak usahanya, namun ia tetap mengobarkan semangat perubahan pada masyarakat pribumi. Selain tirto, jurnalis yang mengobarkan semangat nasionalisme masyarakat Indonesia adalah Douwes Dekker, mekipun ia adalah keturunan Belanda, namun memiliki peranan membela masyarakat pribumi melalui media.

C. Peranan Media Massa
Media sangat berpengaruh besar dalam menciptakan pola piker masyarakat. Selain itu media dapat berfungsi sebagai media untuk mengkampanyekan, informasi, pendidikan dan perubahan pada masyarakat. Syarat dari Negara Demokrasi adalah adanya kebebasan Pers, namun bukan kebebasan yang tidak terbatas.

Pers berfungsi sebagai “anjing penjaga”, peran social yang tinggi sehingga mampu mengkontorl kebijakan-kebijakan Negara yang tidak berpihak pada masyarakat. Namun, ditengah pengaruh globalisasi dan konsumerisme yang tinggi, peran Pers banyak yang beralih dari fungsi sosialnya.

Kepentingan akan modal dan mendapatkan keuntungan dari usaha Pers adalah merupakan wujud dari adanya pergeseran dari nilai-nilai perubahan seperti yang dinginkan oleh masyarakat. Pengaruh dan tekanan dari penguasa juga menjadikan Pers seolah menjadi “macan ompong” dalam geraknya.

Inilah sebabnya sebagian Pers Mahasiswa masih tetap memandang jurnalisme transformative sebagai media alternative untuk masyarakat. Jurnalis yang ingin mewujudkan perubahan pada masyarakat. Pers mahasiswa melalui jurnalisme trnsformatif berperan untuk meneruskan cita-cita perubahan tersebut. Bargaining position Pers Mahasiswa sangat kuat, karena ia tidak di “setir” oleh pemilik modal.